Aku punya anggapan bahwa kaum elit Jakarta (terutama yang muda) adalah jenis manusia paling intimidating sedunia. Spesifik betul, kan? Sampai nama kotanya pun berani kusebut. Anggapan ini belum bisa kuenyahkan sejak pertama kali ia tercetus. Tapi kabar buruknya, ia juga belum pernah terpatahkan.
Mungkin pendapatku bisa terdengar sangat offensive bagi para konglomerat Jakarta yang berhati mulia. Namun entah nasib atau bagaimana, aku selalu tersandung dengan yang modelnya jahiliyah; yang berteman pilih-pilih, untuk makan saja banyak maunya, kurang hormat pada orang yang lebih tua, kerap mengolok-olok selera musik orang lain tanpa alasan yang jelas, miskin naluri kemanusiaan, dan dagunya selalu diangkat tinggi; tak ambil peduli pada situasi maupun objek yang dihadapi.
Maka secara tidak sadar, sebagai sugesti dari alam pikiran, aku menjaga jarak dengan mereka yang kucurigai masuk golongan ini. Anak milioner atau pejabat negara nomor berapapun akan kusambut terbuka untuk urusan pertemanan, asal bukan elit Jakarta; yang dibesarkan di lingkungan yang “terjaga”, lingkup pertemanannya juga “terjaga”, dan sampai besar memang cuma tahu gaya hidup “keterjagaan” macam itu.
Aku bisa janji demi nilai statistik, ini bukan benci atau iri. Aku juga tidak bilang mereka semuanya jahat, atau semuanya sombong. Mereka cuma.. intimidating. Jadi kupikir, leave me alone and I’ll leave you alone.
Kasus ditutup.
***
Di kampusku, tepatnya dalam sebagian besar mata kuliah yang kuambil, aku kebagian satu set dengan satu spesies dari golongan yang paling kuhindari tadi; elit Jakarta; bernama Cakra.
Bagai ironi dunia, Cakra adalah ningrat yang tingkat ningratnya di atas ningrat jelata. Dia dan dunianya yang tinggi. Aku dan duniaku yang menjejak bumi. Dia dan kawan-kawannya yang mengkilat dan terawat. Aku dan kawan-kawanku yang, ya yang penting bersih, rapi, rajin mandi.
Dia dengan sponsor pribadinya, kondo pribadinya, kendaraan pribadinya, dan jadwalnya yang super fleksibel; kadang ada kadang tiada; sebentar sudah di sini, sebentar kemudian di tempat lain lagi. Aku dan beasiswaku, tanggungjawab IP minimumku, penghematanku dan sarapan nasi goreng telur mata sapiku.
Hidupnya, sebenarnya ini tergantung standarmu juga, apakah menurutmu ini keren atau malah hedon, tapi dari yang kudengar, hidupnya bak rangkuman film impor; rumah dengan fasilitas kolam renang, ruang tamu yang karpetnya menenggelamkan, kumpul keluarga dengan baju seragam dari bahan yang paling baik kualitasnya dan paling trendi modelnya, serta keluarga besar yang semua anggotanya seperti layak masuk tivi.
***
Lalu terjadilah konspirasi semesta di suatu hari di bulan Februari. Mestakung, semesta mendukung, atau dalam kisahku, mestanyek, semesta ngenyek, siapa suruh sok-sok-an menjunjung tinggi prinsip yang hakikatnya tidak prinsipil sama sekali.
Profesor Linn yang mengajar mata kuliah Leadership membawa setumpuk formulir kosong untuk acara Youth Summit di Copenhagen pada Mei mendatang. Mahasiswa yang berminat ikut wajib mengumpulkan esai dua halaman mengenai topik-topik kekinian yang bisa bebas dipilih. Profesor Linn berjanji, barangsiapa yang esainya tembus dan berhasil diundang ke konferensi remaja tahunan itu, “he or she will be granted an A without having to attend classes for the rest of the semester”.
Emas!
Tidak banyak yang maju ke depan mengambil formulir saat kelas berakhir. Hanya aku, Min Shuo, tidak heran, Yi Xin, tidak heran, Philip, tidak heran, pasti karena iming-iming bebas kelas di hari rabu selama satu semester, Chloe, tidak heran, Nichole, tidak heran, Maya, tidak heran, dan beliau, Cakra.
Eh?
Profesor minta agar kami mengisi dulu formulirnya, esai bisa menyusul dan dikumpul secara online paling lambat hari Sabtu. Dengan tergesa kami semua mengeluarkan alat tulis dan mulai melengkapi data pribadi masing-masing. Semua, kecuali Cakra.
Ketika aku selesai mengisi formulir, ia tahu-tahu sudah berdiri di dekatku.
“Permisi, boleh pinjam bolpen?” tanyanya.
Aku mengangguk dan menyerahkan pena sonnet abu-abu gelap kesayanganku. “Boleh.”
Sambil menunggu dalam keadaan berdiri bodoh, aku memperhatikan tulisan tangannya. Cenderung berantakan memang, namun tak dinyana berciri khas. Kuperhatikan juga potongan rambutnya. Kuperhatikan jaketnya. Kuperhatikanlah akhirnya keseluruhan penampilannya.
Crap! He should be in runway with all these.
***
Cakra akhirnya mengumpulkan formulir yang telah terisi kepada Profesor Linn, lalu dengan ringannya mengantongi penaku, melenggang kangkung meninggalkan ruang kelas. Aku mengekor di belakangnya.
“Cakra, tunggu.”
Cakra menoleh, menatapku bingung. “Ya?”
“Ini, ehh, bukannya pelit atau perhitungan atau gimana, kalau bukan yang itu sih saya nggak masalah, tapi yang itu hadiah ulangtahun.”
Ia berhenti berjalan, mengernyit, alisnya hampir bertaut.
“Pena yang tadi,” aku terpaksa mengingatkan terang-terangan.
“Yaampun! Bolpen!” buru-buru ia merogoh kantongnya dan mengembalikan sonnet-ku. “Maaf ya maaf, gue bener-bener lupa. Maaf banget.”
“It’s okay,” jawabku pendek. Aku meneruskan berjalan, Cakra mengambil langkah yang sama. Kami bersisian.
Kukira pembicaraan antara aku dan dia sudah akan tamat riwayat, mengingat pena kesayangan sudah kembali dengan selamat. Rupanya Cakra masih bertanya.
“Untuk esai kamu pilih topik apa?”
Aku menyadari kehati-hatiannya memilih kata panggilan. Gue dan kamu, what a combination. ”Oh, Online Identity, I think. How about you?”
“Creative economy. I think,” jawabnya, dibumbui senyum innocent seraya mengangkat bahu.
“Hm,” komentarku hanya tinggal bunyi.
“Kamu mau pulang kan? Tinggal di dormitory atau di luar? Kalau di luar bareng gue aja, daripada jalan atau nunggu bis.”
“Gapapa, saya tinggal di asrama kok.”
Aku terus berjalan. Cakra terus berjalan di sebelahku. Setengah menit berlalu dalam diam yang canggung, sampai kami tiba di pintu utama.
“Alright, terimakasih bolpennya ya. All the best for the essay! Who knows, we might be the lucky ones,” Cakra terkekeh, melambai, berjalan makin jauh, membelok ke arah kanan, dan hilang.
Aku tertegun. Seorang Cakra harusnya tidak minta maaf berkali-kali. Tidak memperpanjang obrolan. Tidak menawarkan tumpangan.
Seorang Cakra harusnya —seperti kata teori— mengintimidasi, bukan membesarkan hati.
“Pasti karena pena. Pasti karena pena,” aku membantah ngeyel, geleng-geleng kepala, dan mempercepat langkah pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar